Latar belakang sejarah Hari Raya Galungan berawal dari kisah seorang raja pada jaman dahulu, seorang raja yang sakti mandraguna keturunan raksasa yang memerintah jagat Bali, raja tersebut bernama Raja Mayadenawa.
Mayadenawa seorang raja lalim dan kejam, karena kesaktiannya yang tidak terkalahkan menganggap dirinya adalah Dewa yang patut disembah oleh rakyatnya. Kesaktiannya tersebut diperoleh karena keteguhan dan ketekunan imannya memohon kepada Dewa Siwa, agar diberikan kesaktianya dan agar bisa merubah wujud.
Hasil dari ketekunan menyembah dan memohon kepada Dewa Siwa, maka dikabulkanlah keinginannya, sehingga Mayadenawa menjadi raksasa sakti yang mampu melakukan perubahan wujud.
Kesaktian, kesombongan dan keangkuhannya ini, membuat Mayadenawa bisa menguasai seluruh Bali bahkan meluas sampai ke wilayah Lombok, Sumbawa, Bugis dan Blambangan dengan mudah. Raja kejam ini tidak memperbolehkan rakyatnya menyembah Dewa dan menghancurkan pura yang ada.
Rakyat tidak berani menentang karena kesaktian dan kekejaman raja, semua rakyat akhirnya patuh. Rakyat dihantui rasa ketakutan yang mendalam. Karena sifat raja yang lalim, maka rakyat juga menjadi sengsara.
Tersebutlah seorang pendeta bernama Sangkul Putih atau Mpu Sangkul putih yang juga merupakan Pemangku Agung di Pura Besakih, melihat situasi seperti ini beliau menjadi sedih, pura yang dihancurkan dan kondisi rakyat yang serba ketakutan.
Akhirnya sang pendeta melakukan meditasi atau tapa yoga di Pura Besakih, untuk memohon petunjuk dari para Dewa. Dalam tapa yoganya beliau mendapat petunjuk dari Dewa Mahadewa agar beliau pergi ke Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.
Akhirnya bantuan datang dari India dan juga Kahyangan yang dipimpin oleh Dewa Indra untuk memerangi Maya Denawa dan pasukannya, Maya Denawa sudah mengetahui kedatangan tersebut karena memiliki banyak mata-mata, mempersiapkan pasukannya dengan baik, sehingga terjadi perang dahsyat dan banyak yang tewas di kedua belah pihak,.
Tapi akhirnya pasukan Mayadenawa berlari kocar-kacir meninggalkan medan peperangan. Mengetahui hal ini Mayadenawa merencanakan daya upaya licik untuk menghancurkan pasukan kahyangan.
Pada saat jeda perang di malam harinya, karena kesaktiannya bisa merubah wujud, bisa menyusup pasukan dewa Indra dan memberi racun pada sumber air.
Agar tidak ketahuan, maka Mayadenawa mengendap-endap berjalan memiringkan kakinya dengan hanya menggunakan sisi kakinya saja, sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama Tampak Siring.
Pada pagi harinya pasukan kahyangan yang meminum sumber air tersebut keracunan, mengetahui hal ini Dewa Indra dengan kesaktiannya menciptakan sumber air baru yang mampu mengobati dan menyembuhkan pasukan yang keracunan, sehingga mereka semua sembuh sedia kala.
Sumber air tersebut sekarang dikenal dengan nama Tirta Empul, sedangkan tempat mengalirnya sungai tersebut dinamakan sungai Pakerisan.
Setelah mereka pulih semua, kembali melakukan pengejaran, dalam pelariannya Mayadenawa juga sempat bersembunyi di sebuah gua, sehingga tempat tersebut dinamakan Goa Mayadenawa. Dalam pelariannya Mayadenawa beberapa kali merubah wujudnya agar tidak dikenali oleh musuh.
Mayadenawa sempat mengubah wujud menjadi seekor burung besar (Manuk Raya), sehingga tempat tersebut menjadi desa Manukaya, namun dengan kesaktian Dewa Indra semua usaha dari Mayadenawa dengan berubah wujud berkali-kali hanya usaha sia-sia dan akhirnya Mayadenawa, dan akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa
Darah yang mengalir dari raja lalim ini menjadi sungai bernama Sungai Petanu, sungai tersebut konon juga dikutuk, jika air sungai tersebut digunakan mengairi sawah, maka padi akan tumbuh dengan cepat, namun akan keluar darah saat panen dan akan mengeluarkan bau. Mungkin kutukan tersebut sekarang sudah berakhir karena berlaku hanya dalam 1000 tahun.
Dan kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa inilah disimbolkan sebagai kemenangan kebaikan melawan kejahatan yang diperingati sebagai Hari Raya Galungan. Dari sinilah sejarah hari raya Gulungan tersebut yang diturunkan dari generasi ke generasi sampai sekarang ini.
Sedangkan Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditujukan kepada para Deva dan Pitara agar turun melaksanakan pensucian serta mukti, atau menikmati sesaji yang dipersembahkan. Kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma(kejahatan) yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu:
“Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika.”
Artinya: "Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya". Perumpamaan ini diambil karena, bagi manusia, sangat sulit untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu. Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknya ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus.
Dikutip dari Bhagawan Dwija, mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan janji/pemberitahuan/nguningang, baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat).
Sarasamuccaya (sloka 564) juga menyebutkan;
“Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan.”
Artinya: "Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan."
Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri manusia. Hari raya Kuningan adalah hari raya khusus, di mana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesaji dalam upacara perpisahan untuk kembali ke-stananya masing-masing. Sedangkan di pedesaan ada beberapa Barong ngelawang beberapa hari diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan/gamelan.
Penyelenggaaraan upacara Kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong ke barat. Ini dikarenakan Pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00:00 dini hari sampai jam 12:00 siang. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).
Selengkapnya